[proyek menulis] The Millennium Parenthood – Day 07

“Ora na azu nwa” – It takes a village to raise a child (Nigerian proverb)

[TEMA: SOSIALISASI]

Bullying (Bagian 1)

Saya menghadiri sebuah acara dan duduk di kursi yang disediakan.  Di sebelah saya ada 3 anak perempuan balita yang sedang bercerita.  Tidak lama kemudian, seorang teman mereka datang dengan memakai celana yangsebuah robekan kecil di bagian lututnya.  Kontan, seorang diantaranya langsung berbisik kepada kedua temannya sambil melihat anak perempuan dengan celana robek tersebut sambil tertawa.  Merasa disudutkan dan dipermalukan, anak perempuan tersebut menangis dan kemudian berlari meninggalkan ketiga temannya.

Seorang rekan saya bercerita bahwa anaknya dikucilkan di kelasnya karena ia tidak memiliki telepon genggam merek tertentu yang harus dimiliki oleh semua anak murid di kelasnya atas perintah ketua kelas mereka.  Saya bertanya kepadanya bagaimana reaksi anaknya.  Dengan tenang ia menjawab bahwa hal itu tidak berdampak negatif kepada anaknya karena sejak awal ia berpesan bahwa telepon genggam hanya untuk keperluan menelepon dan mengirim pesan singkat saja agar komunikasi tetap terbuka walaupun ia berada di sekolah.  Selain itu, kebutuhan teknologi dapat dilakukan di rumah.  Rekan saya menerapkan aturan tersebut agar ia dapat memantau aktivitas anaknya.  Sehingga, walaupun dikucilkan teman-temannya, anaknya tidak merasa bahwa tidak memiliki telepon genggam merek tersebut akan berdampak buruk untuk kegiatan akademisnya.

Kedua contoh di atas adalah beberapa dari banyak kasus bullying dan memberikan respon yang berbeda pula.  Apa sebenarnya yang dimaksud dengan bullying dan bagaimana menghadapinya?

Bullying adalah perilaku seseorang atau sekelompok orang secara berulang yang memanfaatkan ketidakseimbangan kekuatan dengan tujuan menyakiti targetnya (korban) secara mental atau secara fisik.  Ada 3 macam bentuk bullying yaitu:
1. Fisik : memukul, menampar, meminta paksa yang bukan miliknya
2. Verbal : memaki, mengejek, menggosipkan
3. Psikologis : mengintimidasi,  mengabaikan, mendiskriminasi

Bullying terjadi karena:

1. Adanya ketidakseimbangan kekuatan antara pelaku bullying dan target (korban). Ketidakseimbangan kekuatan dapat berupa ukuran tubuh, kekuatan fisik, kemahiran dalam bersilat lidah, gender (jenis kelamin),atau status sosial.

Unsur ketidakseimbangan kekuatan inilah yang membedakan bullying
dengan bentuk konflik yang lain. Dalam konflik antar dua orang yang kekuatannya sama, masing-masing memiliki kemampuan untuk menawarkan solusi dan berkompromi untuk menyelesaikan masalah.

Dalam kasus bullying, ketidakseimbangan kekuatan antara pelaku bullying dan korbannya menghalangi keduanya untuk menyelesaikan konflik mereka sendiri, sehingga perlu kehadiran pihak ketiga. Sebagai contoh, anak kecil yang mendapat perlakuan bullying dari teman sebayanya, perlu bantuan orang dewasa.

2. Adanya perilaku tidak wajar dengan cara mengganggu, menyerang secara berulang kali, atau dengan cara mengucilkan (mendiamkan).

Bullying dilakukan secara berkelanjutan dalam jangka waktu yang lama sehingga korban bully akan berada dalam keadaan cemas, terintimidasi, tidak berdaya dan trauma secara terus menerus.   Komnas Perlindungan Anak mencatat 139 kasus bully yang terjadi pada tahun 2011 dan 36 kasus pada tahun ini.  Baru-baru ini, sebuah kasus bully terjadi di Sekolah Don Bosco Pondok Indah dengan dampak yang sangat memprihatinkan pada korban bully.

Apapun bentuk bully yang dilakukan seorang anak pada anak lain, tujuannya adalah sama, yaitu untuk “menekan” korbannya, dan mendapat kepuasan dari perlakuan tersebut.

Selama ada interaksi sosial antar manusia, Bullying dapat terjadi di lingkungan mana saja.  Berikut beberapa contohnya: sekolah (school bullying) –contohnya Masa Orientasi Siswa (MOS)– dan kampus, tempat kerja (workplace bullying), lingkungan masyarakat (preman, geng motor), secara online (cyberbullying), lingkungan politik (political bullying), atau lingkungan militer (military bullying).

Perilaku bullying antara lain, berupa kekerasan fisik (mendorong, menendang, memukul, menampar), verbal ( panggilan yang bersifat mengejek atau celaan),  mental (mengancam, intimidasi, pemerasan, pemalakan), secara sosial (menghasut dan mengucilkan) dan  teknologi (menyebarkan fitnah, hasutan atau gosip melalui SMS, email, online forum, atau blog).

Ada beberapa latarbelakang mengapa seseorang menjadi pelaku bully:

  • Orangtua memberikan contoh yang buruk.   Orangtua yang senang meremehkan anaknya sebenarnya telah menjadi teladan bully bagi anaknya sendiri.
  • Kebutuhan untuk diperhatikan dapat menyebabkan anak melakukan aksi mengganggu.  Rendahnya keterlibatan dan perhatian orang tua pada anak juga bisa menyebabkan anak suka mencari perhatian dan pujian dari orang lain. Salah satunya pujian pada kekuatan dan popularitas mereka di luar rumah.
  • Kecenderungan permusuhan
    Dalam hubungan keluarga maupun pertemanan, permusuhan seringkali tak bisa dihindari. Merasa dimusuhi akan membuat anak merasa dendam dan ingin membalasnya.
  • Kurang perhatian
    Rendahnya keterlibatan dan perhatian orang tua pada anak juga bisa menyebabkan anak suka mencari perhatian dan pujian dari orang lain. Salah satunya pujian pada kekuatan dan popularitas mereka di luar rumah.
  •  Gender sebagai laki-laki
    Seringkali orang menilai bahwa menjadi seorang laki-laki harus kuat dan tak kalah saat berkelahi. Hal ini secara tak langsung menjadi image kuat yan menempel pada anak laki-laki bahwa mereka harus mendapatkan pengakuan bahwa mereka lebih kuat dibanding teman laki-laki lainnya. Akhirnya perilaku ini membuat mereka lebih cenderung agresif secara fisik.
  • Riwayat korban kekerasan
    Biasanya, anak yang pernah mengalami kekerasan khususnya dari orang tua lebih cenderung ‘balas dendam’ pada temannya di luar rumah.
  • Riwayat berkelahi
    Kadang berkelahi untuk membuktikan kekuatan bisa menjadikan seseorang ketagihan untuk tetap melakukannya. Bisa jadi karena mereka senang karena memperoleh pujian oleh banyak orang.
  • Ekspos kekerasan dari media
    Televisi, video game, dan film banyak menyuguhkan adegan kekerasan, atau perang.  Ekspos media terhadap adegan kekerasan ini sering menginspirasi anak untuk mencobanya dalam dunia nyata.

Bully menjadi bentuk pertahanan diri (defense mechanism) yang digunakan pelaku untuk menutupi perasaan rendah diri dan kecemasannya. “Keberhasilan” pelaku melakukan tindakan bully bukan dapat berlanjut pada bentuk kekerasan lainnya, bahkan yang lebih dramatis.

Ada yang menarik dari karakteristik pelaku dan korban bully. Korban bully mungkin memiliki karakteristik yang bukan pemberani, memiliki rasa cemas, rasa takut, rendah diri. Akibat mendapat perlakuan ini, korban pun mungkin sekali menyimpan dendam atas perlakuan yang ia alami.  Korban bully dapat menjadi pelaku bully pada anak lain untuk mendapat kepuasan dan membalaskan dendam. Ada proses belajar yang sudah ia jalani dan ada dendam yang tak terselesaikan. Kasus di sekolah-sekolah, dimana kakak kelas melakukan bully pada adik kelas, dan  berlanjut ketika si adik kelas menjadi kakak kelas yang melakukan bully pada adik kelasnya yang baru.  Inilah pola bully.

Presentasi untuk artikel ini dapat diunduh di sini: http://goo.gl/KgRKV

Create a free website or blog at WordPress.com.